Gagal Move On, Tapi Akun Slot-nya Masih Dipake Bersama

Rabu pagi (9 Juli 2025), aku bangun dengan notifikasi saldo top-up. Aneh. Padahal aku nggak isi apa-apa. Ternyata... dia. Mantan. Dia masukin saldo ke akun slot yang dulu kami buat bareng.

Setelah dua tahun pacaran dan delapan bulan putus, hal yang masih menyatukan kami ternyata... cuma akun itu. Nama user-nya pakai inisial kami berdua. Password-nya masih sama. Dan aku? Masih hafal semua histori transaksinya. Bahkan kadang aku merasa, akun itu seperti catatan harian digital yang mencatat siapa sedang rindu, siapa sedang mencoba bicara, tanpa benar-benar mengucap kata.

Ada yang Lebih Sulit dari Putus: Berbagi Akun

Aku tahu ini konyol. Tapi setiap malam, waktu aku buka akun itu, aku bisa lihat jejaknya. Dari pilihan game yang dia buka, hingga sisa saldo yang anehnya dia nggak sentuh semua. Seolah dia tahu aku bakal masuk dan mainin sisanya.

Aku nggak tahu ini bentuk perhatian, atau bentuk luka yang belum sembuh. Tapi setiap kali aku dapet scatter, atau buy spin meledak jadi maxwin, aku refleks mau kirim screenshot ke dia. Lalu sadar: kami sudah bukan lagi ‘kita’. Rasanya kayak otakku belum sinkron sama kenyataan, dan itu menyakitkan dengan cara yang diam-diam.

Aku pernah coba blokir aksesnya, ubah password. Tapi rasanya malah kayak aku menutup kenangan yang belum selesai. Akhirnya aku kembalikan lagi. Biarpun aku tahu, tiap kali aku lihat jejaknya, dadaku bakal terasa sesak.

Slot Jadi Cermin Relasi yang Belum Rampung

Buat orang lain, slot mungkin cuma hiburan. Tapi buatku, ini jadi cermin. Ada “klik” emosional di setiap spin yang kami jalani bareng. Mulai dari malam pertama top-up bareng, sampai adu hoki di satu game yang sekarang bahkan aku hindari—karena ingatannya terlalu banyak.

Lucunya, kami nggak pernah bahas siapa yang berhak atas akun itu. Nggak ada “kamu ambil aja” atau “hapus aja deh”. Kami cuma terus pakai. Saling isi, saling lihat. Tanpa bicara. Seperti dua hantu yang masih saling menyapa lewat notifikasi login dan histori game.

Pernah suatu malam, aku lihat dia main jam 2 pagi. Aku online juga. Dan entah kenapa, game yang kupilih persis sama seperti yang dia buka. Kita kayak bicara tanpa suara. Bertemu di ruang virtual yang dulunya milik kita berdua.

Apakah Ini Toxic? Atau Justru Terapi?

Temanku pernah bilang, “Udah, ganti akun. Move on.” Tapi menurutku, ini bukan soal akun. Ini tentang bagaimana kita diam-diam masih saling memperhatikan lewat cara yang diam.

Mungkin buat orang lain ini bentuk keputusasaan. Tapi buatku, ini semacam jembatan terakhir. Aku tahu kami sudah gak bisa balikan, tapi... kalau kamu masih login, masih top-up, masih buka game yang kita dulu suka — bukankah itu bentuk paling jujur dari perasaan yang belum benar-benar hilang?

Di dunia nyata, kita bisa pura-pura kuat. Tapi slot? Dia mencatat semuanya. Kapan kamu login, berapa kamu deposit, game mana yang kamu buka. Dan dari situ, aku tahu... kamu juga belum benar-benar sembuh.

Aku Masih Main, Tapi Beda Rasanya

Sekarang aku lebih sering main sendiri. Tapi akun itu tetap jadi tempat paling jujur buat lihat siapa yang sedang masukin saldo, siapa yang buka game, siapa yang berhenti. Kayak rumah kosong yang pintunya masih kebuka. Siapa tahu suatu hari... ada yang kembali.

Dan kalau kamu baca ini—kamu tahu siapa kamu—aku nggak marah. Aku cuma rindu, walau caraku merindukanmu sekarang cuma lewat scatter dan simbol liar yang kita suka dulu.

Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah perpisahan... tapi kebiasaan yang tetap tinggal setelahnya.

Mungkin suatu hari nanti, aku bakal punya akun sendiri. Dengan nama user yang baru, histori yang baru. Tapi untuk saat ini, biarkan aku tinggal sebentar lagi di akun lama itu. Karena di sana, meski cuma sebentar, aku masih bisa merasa seperti “kita”.

Dan jika suatu saat kamu benar-benar berhenti login, mungkin itu tanda bahwa waktuku juga sudah habis.